Sabtu, 09 Mei 2009

PAREPARE MENUJU PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Nurhidayah*



Seberkas cahaya sedang berusaha menyeruak diantara hiruk pikuk dunia pendididkan Parepare yang sedang berbenah. Adalah LAPEKOM, selasa kemarin (17/3) menggelar penanaman 150 pohon di SMPN 4 dalam rangka Go Green School. Sebuah pertanda baik, karena bukan hanya pemerintah yang concern dengan kondisi lingkungan terkini, pertanda yang amat baik, karena yang punya “gawe” adalah lembaga yang besentuhan dengan pendidikan. Bukan jumlah pohon yang ditanam, tetapi keperdulian yang terwakili, bukan sekedar menghijaukan lingkungan sekolah sehingga suasana menjadi sejuk dan nyaman, tetapi keberpihakan terhadap bumi yang disimbolkan oleh gerakan Go Green School adalah titik balik yang penting bagi dunia pendidikan dalam meninjau kebijakan-kebijakan selanjutnya, terutama yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah.
Sosialisasi gerakan kesadaran akan pentingnya pelestarian fungsi lingkungan melalui jalur pendidikan nampaknya merupakan sebuah pilihan bijak, mengingat sekolah adalah lembaga pendidikan yang menjadi tempat pembentukan generasi yang berkualitas dalam semua aspek, kognisi, afeksi dan psikomotorik. Dari lembaga yang disebut “sekolah”, diharapkan lahir generasi yang dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Dengan demikian penanaman kesadaran lingkungan pada generasi yang sedang membentuk kulitas dirinya di sekolah diharapkan menghasilkan generasi berwawasan lingkungan.
Masalah pentingnya pemeliharaan fungsi lingkungan hidup sebenarnya telah terintegrasi dalam hampir semua mata pelajaran yang termaktub dalam kurikulum nasional, terutama kelompok mata pelajaran sains seperti Biologi, Fisika, Kimia. Bahkan untuk implementasinya telah banyak dilakukan pelatihan-pelatihan bagi guru untuk melakukan integrasi pendidikan lingkungan hidup tersebut, termasuk evaluasinya. Namun sejauh ini hasil yang diperoleh masih jauh dari memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari sikap berwawasan lingkungan generasi muda “saat ini” yang relatif rendah. Demikian pula sikap berwawasan lingkungan generasi muda “jaman dahulu” yang saat ini sedang menjadi menjadi pelakon pembangunan. Rendahnya sikap berwawasan lingkungan tersebut mengakibatkan konsep pembangunan berkelanjutan masih sebatas konsep, jauh dari implementasi. Contoh kecil dalam skala lokal, adalah kasus alih fungsi hutan lindung di pulau Bintang yang melibatkan anggota Dewan yang terhormat. Atas nama pembangunan, atas nama kepentingan ekonomi maka kepentingan lingkungan, kepentingan menjaga fungsi hutan sebagai paru-paru bumi, sebagai daerah resapan, sebagai reservoar air, sebagai sumber keanekaragaman hayati dinafikan. Dalam skala global, contoh yang membuat miris hati pemerhati lingkungan adalah sikap pemerintah AS yang belum bersedia meratifikasi perjanjian Kyoto, berisi konfensi tentang komitmen untuk menurunkan emisi gas penyebab pemanasan global. Sementara fakta membuktikan bahwa AS adalah penyumbang terbesar emisi gas berbahaya tersebut, baik dari areal industi maupun pertaniannya.
Sejatinya, sejak dicetuskannya komitmen pembangunan berkelanjutan setelah KTT bumi Rio de Jenairo 1992 tahun silam, seharusnya laju pertambahan penduduk dunia telah menurun, dan peningkatan suhu bumi relatif lebih rendah. Namun komitmen yang tidak mengikat (kecuali secara moral) tersebut gagal dalam implementasi. Sebagai akibatnya petumbuhan penduduk dunia tetap tinggi dan pemanasan global dengan rata-rata peningkatan suhu 2°C/tahun seperti yang diramalkan dahulu menjadi realitas yang tak terbantahkan kini.
Pemanasan global adalah satu dari sekian banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan penyebab utama dari tereksploitasinya alam secara tidak terkendali. Perkembangan kebudayaan yang makin modern memicu peningkatan konsumsi. Dampak yang tak terelakkan dari konsumsi yang tinggi ini adalah pencemaran. Siapa yang menyangka jika ektensifikasi pertanian yang berusaha mengamankan penduduk dunia dari kelaparan bersifat ambivalen? Selain memenuhi kebutuhan pangan, juga mencemari lingkungan dengan limbah pupuk. Bukan sekedar residu yang tersisa pada tanaman, tanah atau masuk ke sumber-sumber air penduduk, lebih dari itu salah satu gas yang dilepaskan areal pertanian ke atmosfir adalah CH4, satu dari sekian gas rumah kaca yang ikut andil dalam meningkatkan suhu bumi. Saudara CH4 adalah N2O dilepaskan ke atmosfir oleh lahan pertanian kering dari seluruh dunia dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor. Bagaimana mengurangi laju peningkatan suhu bumi jika sumber polutan adalah proses yang “tidak mungkin” dihentikan?
Maka upaya membentuk generasi berwawasan lingkungan yang dilakukan di sekolah-sekolah menjadi sesuatu yang sangat penting. Dengan asumsi bahwa sekolah adalah lembaga yang memberikan pendidikan yang utuh kepada setiap peserta didiknya, pendidikan dari semua aspek, kognisi, afeksi dan psikomotorik. Sekolah adalah lembaga yang membantu siswa mengenal dan mengoptimalkan multiple intelligensi-nya. Jika lulusan sekolah adalah generasi yang pola pikir dan perilakunya berwawasan lingkungan kelak menjadi pelaku pembangunan, maka konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan terlaksana dengan baik. Dan jika gerakan ini terjadi di seluruh dunia, maka kekhawatiran bahwa bumi akan mencapai ambang batas daya dukungnya tidak perlu ada.
Kearifan berfikir manusia dipertaruhkan. Moralitas dan kepedulian akan sesama diuji dalam satu dasawarsa ini. Sambil menunggu generasi berwawasan lingkungan disiapkan dari sekolah-sekolah seluruh dunia, maka akan sangat bijaksana jika kita memulai dari “sekolah” kita yang paling kecil, rumah tangga. Tidak memerlukan banyak biaya dan tenaga memberi contoh perilaku berwawasan lingkungan kepada keluarga. Menghemat air dan listrik, memilah sampah rumah tangga, memelihara tanaman di halaman, ibu rumah tangga yang menggunakan keranjang belanja (bukannya tas kresek plastik yang tidak bisa diurai bakteri seumur bumi), mematikan TV sehabis nonton, bukannya membiarkan TV ganti “menonton” kita yang tidur, mematikan lampu belajar anak yang sudah tidur. Dan banyak lagi hal-hal kecil yang akan sangat berarti karena akan diteladani oleh anak-anak, dan kelak menjadi kebiasaan hidup dan yang kelak pula akan diwariskan kepada keturunannya.

* Guru SMA Negeri 5 Parepare

Sabtu, 14 Maret 2009

HARI BUMI vs AS
(Nurhidayah, S.Pd)

Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April , menandai hari jadi lahirnya sebuah perubahan pergerakan kepedulian terhadap lingkungan tahun 1970-an. Hari Bumi lahir diprakarsai oleh seorang senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson. Saat itu ia melakukan protes secara nasional terhadap kalangan politik terkait permasalahan lingkungan. Ia mendesak agar isu-isu tersebut dimasukkan dalam agenda nasional.
Perjuangan Gaylord Nelson dimulai sekitar lebih dari 7 tahun sebelum Hari Bumi pertama. Pada awalnya Gaylord berharap pemikirannya tercapai melalui kunjungan yang dilakukan Presiden Kennedy ke-11 negara bagian pada September 1963, namun dengan beberapa alasan kunjungan tersebut tidak mampu membawa isu lingkungan ke dalam agenda nasional. Upaya terus dilakukan Gaylord untuk merealisasikan idenya. Setelah tur Kennedy, Gaylord melakukan kampanyenya sendiri ke beberapa negara bagian. Di seluruh pelosok negara, bukti penurunan kualitas lingkungan terjadi di mana-mana. Semua orang menyadarinya, kecuali kalangan politik.
Akhirnya pada musim panas 1969 Gaylord mengetahui bahwa aksi demonstrasi anti-perang Vietnam telah menyebar secara luas melalui perguruan tinggi di seluruh negeri. Dari sana ia mendapat ide untuk melakukan hal yang sama dalam kempanye lingkungannya. Ia memilih kalangan bawah dalam melakukan aksi protes terhadap kerusakan lingkungan. Pada sebuah konferensi di Seattle September 1969, Gaylord mengumumkan akan mengadakan demonstrasi secara nasional pada musim semi 1970 atas nama lingkungan dan setiap orang diundang untuk berpartisipasi. Setelah itu, berbagai surat, telegram, dan telepon mengalir dari seluruh negeri. Warga Amerika akhirnya menemukan sebuah forum untuk mengungkapkan kepeduliannya atas penurunan kualitas tanah, sungai, danau, dan udara di lingkungan mereka. Pada 30 November 1969 New York Times melaporkan terjadinya peningkatan aktivitas kepedulian terhadap lingkungan di seluruh negeri terutama di kampus-kampus dan suatu hari untuk peringatan permasalahan lingkungan tengah dirancang untuk untuk musim semi mendatang yang dikoordinasi oleh Senator Gaylord Nelson. Hal ini menjadi bukti keberhasilan perjuangan Gaylord Nelson dalam mengedepankan isu lingkungan sebagai agenda nasional.
Pada tanggal 22 April 1970, akhirnya sekitar 20 juta warga Amerika turun ke jalanan serta memenuhi sejumlah taman dan auditorium untuk mengkampanyekan kesehatan dan keberlangsungan lingkungan. Ribuan mahasiswa berkumpul menentang kerusakan lingkungan. Kelompok-kelompok yang sudah sejak lama menentang adanya tumpahan minyak di lingkungan, pabrik-pabrik dan pembangkit listrik penyebab polusi, buruknya saluran pembuangan, pembuangan bahan-bahan berbahaya, pestisida, jalan raya, hilangnya hutan belantara, serta semakin punahnya kehidupan liar menyadari adanya kebersamaan atas perjuangan mereka dari masyarakat.
Hari Bumi pada tahun 1970 telah menghasilkan persatuan kalangan politik yang sebenarnya jarang terjadi, yang berasal dari kaum republik maupun demokrat, dan berbagai pencampuran kalangan lainnya. Hari Bumi pertama menjadi awal terbentuknya United States Environmental Protection Agency/US EPA (sebuah badan perlindungan lingkungan Amerika) dan juga sebagai langkah awal menuju lingkungan dengan udara dan air yang bersih, serta perlindungan terhadap mahkluk hidup.
Pada tahun 1990, peringatan Hari Bumi mulai berkembang secara global. Sekitar 200 juta orang dari 141 negara di dunia tergerak untuk mengangkat isu lingkungan dalam skala global. Hari Bumi 1990 pun menjadi titik tolak terlaksananya KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro.
Tahun 2000 Hari Bumi mendapat bantuan dengan adanya internet untuk menghubungkan para aktivis di seluruh dunia. Pada tanggal 22 April sekitar 5000 kelompok pemerhati lingkungan di seluruh dunia merangkul ratusan juta penduduk di 184 negara yang menjadi rekor baru untuk Hari Bumi.
Namun demikian, semangat Gaylord Nelson dengan hari bumi tidaklah menjadi semangat pemimpin-pemimpin negaranya dalam menjalankan kebijakan pembangunan. Hingga saat ini, Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang belum merativikasi Protokol Kyoto, suatu dokumen yang mensyaratkan pengurangan emisi gas rumah kaca (cat: pengurangan emisi gas rumah kaca pada Protokol Tokyo 5 persen dari level 1990 pada 2008-2012, pada Bali Road Map 25-40 persen pada 2040). Satu tahun sebelum KTT Bumi di Johannesburg, Afrika Selatan (2002) Presiden Bush mengatakan, ia tidak akan minta kepada Kongres agar meratifikasi perjanjian itu, karena pembatasan pembatasan yang ditetapkan dalam perjanjian itu akan merugikan perekonomian Amerika.
Sebagai catatan, laporan UNDP yang dikeluarkan dalam rangka persiapan KTT Bumi di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002. Laporan UNDP mencermati bahwa pola konsumsi energi di negara-negara maju adalah penyebab utama berubahnya iklim, itu sebabnya emisi mereka harus ditekan secara signifikan. "Andai kata setiap orang di Bumi memiliki gaya hidup seperti orang Amerika Serikat dan Kanada, maka akan diperlukan sembilan planet untuk mengatasi polusi yang ditimbulkan," tulis laporan bertajuk "Melawan Perubahan Iklim: Solidaritas Manusia dalam Dunia yang Terpecah" itu mengingatkan.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa walaupun Cina akan mengejar Amerika Serikat sebagai penyebab emisi karbon terbesar di dunia dalam tempo 10 tahun ke depan, seorang individu di Negeri Paman Sam masih menghabiskan secara rata-rata 5 kali lebih besar energi daripada satu orang Cina atau lima orang India.
Dalam masa operasi satu tahun, sebuah mesin pendingin ruangan (AC) di negara bagian Florida, Amerika, bahkan mengeluarkan lebih banyak karbondioksida (CO2) dibandingkan dengan seorang warga Kamboja sepanjang hayatnya.
Borosnya negara maju juga tersorot lekat ketika Inggris yang populasinya sekitar 60 juta orang melepaskan karbon yang lebih besar daripada emisi gabungan Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Vietnam yang total penduduknya 472 juta jiwa.
Negara bagian Texas, Amerika, yang populasinya 23 juta orang ternyata juga punya jumlah emisi gas karbon yang lebih besar daripada semua kawasan sub-Sahara Afrika, yang dihuni oleh sekitar 720 juta orang.
(Untuk Warta OgiE,Disarikan dari berbagai sumber)